Soal
mistis bukanlah asing di telinga masyarakat Kalimantan Timur, apalagi mereka
yang berdiam di alur sepanjang pedalaman Sungai Mahakam. Kalau di Bali, manusia
jadi-jadian ada yang disebut Leak. Begitu juga dengan daerah Sulawesi Tengah
ada pula yang disebut Popo. Namun di Kaltim walau hakikatnya sama tetapi
sebutannya berbeda yaitu Kuyang.
KUYANG
adalah salah satu mahluk jadi jadian dari sekelompok manusia yang menganut ilmu
hitam tertentu. Belum lagi ilmu-ilmu hitam semacam kesaktian menghancurkan
lawan atau orang yang tak disuka melalui angin misalnya dengan sebutan “Parang
Maya, Panah Terong, Racun gangsa, Perakut, Putting Belayung,” dan lain
sebagainya.
Kebanyakan
aliran ilmu dan penganut hitam ini dibawa sejak jaman Hindu Kaharingan, yaitu
sejak keberadaan Kerajaan Kutai Mulawarman. Dahulu ketika terjadi peperangan
dengan pihak Kerajaan Kutai Kartanegara, Orang-orang Kutai Mulawarman melakukan
perlawanan selain secara fisik juga adu ilmu kesaktian melalui berbagai hal
mistik. Banyak orang Kutai Kartanegara yang hampir kewalahan menghadapi
ilmu-ilmu hitam orang-orang Kutai Mulawarman. Namun karena di Kutai Kartanegara
banyak pula yang memahami akan ilmu hitam tersebut, maka terjadilah adu
kekuatan yang seru. Namun karena jelas Kutai Mulawarman telah kalah dalam
berperang maka sedikit demi sedikit para penganut aliran hitam ini mulai
berkurang dan melarikan diri keberbagai daerah di pedalaman.
Orang-orang
Mulawarman tersebut lari keberbagai daerah di pedalaman seperti daerah
Sabintulung, Menamang, Wahau, Kombeng, Kota Bangun, Kahala, Belayan, Genting
Tanah, dan Tuana Tuha. Daerah yang disebut terakhir inilah yang merupakan
daerah tempat para penganut aliran hitam yang disebut hantu Kuyang bertahan. Di
daerah ini orang tidak bisa sembarang bicara apalagi berkata “pongah”.
Kalau
juga berani, artinya dia tentu punya simpanan atau isi yang juga tangguh.
Karenanya bila kita singgah di daerah tersebut ada saja orang atau penduduk
yang bertanya. “Banyakkah sangu yang kita bawa..?“ Pertanyaan tersebut bukan
bermaksud mempertanyakan bekal yang kita bawa, tetapi lebih dimaksud bekal ilmu
atau pertahanan mistik. Siapapun yang mengaku atau menjawab “Ya, bekal yang
saya bawa cukup,” maka ujungnya tunggulah pada senja hingga malam harinya.
Tanpa ampun berdatangan kiriman angin jahat yang mampu membunuh dia. Dapat
dibayangkan, kalau kita pergi menamu di rumah penduduk, salah mata atau salah
bicara, tampa sadar “anunya” (alat kelamin) kita bisa berada atau bertengger di
dinding rumah. Oleh mereka hal tersebut hanyalah disebut main-mainan.
Namun
demikian cerita ini adalah cerita tempo doeloe, yang jika sekarang ini sudah
jauh berbeda karena dilanda kemajuan zaman yang kian berganti. Tetapi walau
demikian, menurut cerita, soal penganut aliran tersebut masih bisa ditemukan di
daerah yang disebut Tuana Tuha yaitu daerah yang letaknya di sungai belayan,
tidak begitu jauh dari Kota Bangun. Sekarang, menurut kabar yang masih dominan
adalah penganut aliran Hantu Orang atau “ Kuyang.“
Masalahnya
yang disebut Kuyang ini bisa beranak pinak dan turun menurun. Mereka adalah
manusia biasa yang dalam kesehariannya tidak beda dengan masyarakat umum
bergaul dan berbaur. Bedanya kalau hari telah malam. Mereka penganut aliran ini
mulai melakukan aktifitasnya selaku hantu kuyang, yang oleh masyarakat tertentu
juga disebut sebagai ”penanggalanan”. Kalau yang disebut “Hantu Orang,” mereka
bisa menghilang atau terlihat sesuka hati mereka. Untuk tak terlihat jelas,
mereka jika berjalan selalu berbalik rambut menutupi wajah. Kerjanya mencari
orang yang hendak melahirkan. Jika bertemu, maka orang tersebut akan dihisap
darahnya sampai mati. Dan apabila ada orang yang mati beranak, secara umum
masyarakat pasti menjaga kuburan orang yang meninggal. Karena apabila tak
dijaga, maka kuburan itu bisa terbongkar dan mayatnya hilang atau raib entah
dibawa kemana.
Lain
lagi halnya dengan yang disebut “ Hantu Kuyang”. Kuyang ini tidak berjalan
dengan badan yang utuh. Mereka selalu menyembunyikan badan mereka di balik
pintu, atau di belakang lemari, atau di samping ranjang yang terlindung
kelambu, atau dimana saja yang bisa dijadikan tempat berlindung. Setelah
badannya bisa disembunyikan, kepala-kepala mereka lalu tercabut meninggalkan
badan mereka dengan isi perut terburai dan ikut terbang keluar rumah. Mereka
berterbangan dari rumah ke rumah mencari orang baru meninggal atau hendak
melahirkan. Kerja dan sifatnya sama dengan hantu orang.
Menurut
cerita, darah orang yang akan melahirkan itu rasanya amat manis bagaikan madu.
Lalu jika dalam beberapa hari mereka tidak mendapatkan mangsa mereka akan
menjadi ganas dan kesakitan serta kehausan tak terkira. Tetapi jika sudah
mendapatkan darah atau kuburan baru barulah tubuh mereka menjadi segar dan tak
lagi merasa dahaga.
Orang-orang
penganut aliran hitam ini jika melahirkan anak, mereka selalu membawa anak
mereka kes uatu tempat dimana terdapat sebuah gentong atau tajau. Disini si
anak yang masih kecil dimasukkan ke dalam muara tajau tersebut berkali kali
sambil membaca mantera anak Dengan demikian anak tersebut telah menjadi anggota
keluarga mereka. Gentong tersebut diberi nama “Tajau Kuyang“ dan terletak di
sebuah hutan di antara kampung Tuana Tuha dan Genting Tanah.
Hingga
kini “Tajau Kuyang “ tersebut masih bisa ditemukan. Tak ada seorangpun yang
berani mengusik apalagi memindahkan atau menghancurkan tempat tersebut. Memang
kabarnya dahulu ada yang mencoba melakukan pencurian terhadap benda tersebut.
Kenyataannya si pencuri ditemukan penduduk mati dengan mata melotot dan lidah
terjulur bagai tercekik. Semenjak itulah tak ada lagi orang ada yang berani
mengusik benda tersebut sekalipun dia adalah maling mandraguna. Tidak
dijelaskan asal-usul dari mana benda tersebut didatangkan. Begitu pula siapa
yang meletakkannya ditempat itu. Yang jelas umurnya tentu telah ratusan tahun.
Sedang
pemujaan dilakukan setiap malam Kamis oleh suara-suara dan bayangan gaib yang
tak bisa dikenali siapa saja orangnya. Yang jelas pemujaan tambah ramai jika
pada waktu bulan purnama yang bersinar terang. Walau demikian tak ada orang
yang berani datang mendekat ke tempat tersebut. Terkecuali orang yang tak tahu
atau karena dikehendaki oleh mahluk-mahluk yang sedang melakukan pemujaan.
Pernah
sekali ada orang yang mengalami terbawa ke dalam acara pemujaan tersebut. Di
sana dia melihat banyak orang yang sedang melakukan pemujaan berjalan
berkeliling memutari “Tajau Kuyang“ dengan semuanya berpejam mata. Setelah itu
apabila lewat tengah malam, mereka lalu berpesta. Di sini dia melihat hampir
keseluruhan dari pemuja tersebut adalah wanita yang rata-rata sangat cantik.
Dalam pesta si orang tadi diberi berbagai makanan dan minuman yang lezat hingga
mabuk. Ternyata setelah sadar, orang ini tersandar pada sebatang pohon yang tak
jauh dari tempat di mana terdapat “Tajau Kuyang“ itu.
Percaya
tidaknya cerita ini memang adalah merupakan cerita yang berkembang di
masyarakat terutama masyarakat di daerah Tuana Tuha dan Genting tanah. Soal
“Tajau Kuyang” secara pasti dinyatakan memang masih ada dan tak ada siapapun
yang berani mengusiknya. Nah,..! jika ada di antara anda yang mempunyai nyali
atau penasaran, silakan coba dan datang ke daerah tersebut. Tentu penduduknya
akan menyambut dengan ramah dan mengantarkan Anda ketempat tujuan.